Thursday, November 8, 2012

CINTA "yang HALAL" dan "yang HARAM

cinta begitu indah terasa
seolah dunia tertawa mendengar kisah cinta manusia

cinta itu suatu hal yang fitrah, tanpa cinta tak ada kehidupan di dunia ini, namun kebanyakan manusia tidak menempatkan cinta itu pada fitrahnya, sering kali melenceng hingga mengarah pada kemaksiatan.
Cinta itu ada dua versi yaitu "yang Halal" dan "yang Haram" (ini menurut saya lho!)
wokelah langsung masuk ke bahasannya ya..

C.I.N.T.A (yang Halal)


C = cuma untuk yang dihalalkan dan yang dibolehkan secara syar'i

cinta itu untuk yang dihalalkan atau dalam arti lain kita sudah semestinya untuk mencintai orang2 yang termasuk mahromnya, seperti kedua orangtua atau mertua, kakek-nenek, anak2 kandung atau anak2 tiri, cucu2, saudara2, paman, bibi, dan terutama suami/istri. (QS.An-Nur: 31)
tidak ada larangan untuk cinta kepada orang2 selain yang disebutkan tadi asalkan dalam batasan ukhuwah islamiyah (persaudaraan dalam islam) karena setiap muslim itu bersaudara, dalam koridor pergaulan yang sesuai syariat islam
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.”(QS.Al-Hujurat: 10)

I = inginkan kebaikan dalam hubungan

cinta itu sejatinya selalu mengarah pada kebaikan, bukan pada kemaksiatan atau hal2 yang bertentangan dengan agama.
Firman Alloh SWT "Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”(QS.Al-Mujadalah: 22)

N = nikah, puasa, dan kegiatan yang bermanfaat

Cinta yang halal hidup bersama dalam jalinan kasih pada sepasang manusia hanya diperbolehkan jika sudah ada ikatan pernikahan .
Dalam hadist shohih, Rasulullah SAW bersabda "Wahai pemuda! barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah. karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih membentengi kemaluan, dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat membentengin dirinya." (Mutaffaqul'alaih)
jika masih juga dirasa tidak dapat menjaga nafsu syahwatnya, sibukkan dengan kegiatan yang bermanfaat seperti belajar agama, kegiatan sosial / organisasi, dll. Dengan hal2 ini, akan dialihkan untuk kebaikan saja.

T = terjaga hati dan terjaga adab pergaulan

cinta itu sesungguhnya harus terjaga hati dan terjaga adab pergaulan dari timbulnya zina. cinta dan zina adalah dua hal yang bertentangan, oleh karena itu, jangan sampai mendekati zina. (QS.Al-Isra: 32)
"kedua tangan berzina dan zinanya adalah meraba, kedua kaki berzina dan zinanya adalah melangkah, dan mulut berzina dan zinanya adalah mencium" (HR.Muslim dan Abu Daud)
"Hati berzina dengan cenderung dan berharap-harap, dan itu akan dibenarkan dan didustakan oleh kemaluan" (HR.Bukhari-Muslim)

A = Al-Qur'an & As-sunnah jadi acuannya

Tuangkan Cinta yang didasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, hal ini penting sebagai panduan atau cara agar dapat terhindar dari zina.
caranya..
Menahan pandangan, jangan saling berpandangan yang bukan mahromnya, serta menutup aurat (QS.An-Nur: 30-31)
Jangan bersentuhan pada yang bukan mahromnya. Rasul SAW bersabda "Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" (HR.Thabrani)

C.I.N.T.A (yang Haram)

Cuma Ingin Nikmati Tubuh Anda
inilah bentuk cinta yang paling buruk, jadi apa bedanya dengan hewan? ianya hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual saja. Na'udzubillah mindzalik.

Thursday, February 9, 2012

TIPS JURUS - JURUS AMPUH PENANGKAL ZINA

Bismillahir-Rahmanir-Rahim ... 

Berdasarkan dalil2 kuat yang relevan, akhirnya Abu Syuqqah menyimpulkan, “adanya pertemuan antara laki-laki dan wanita mungkin menyebabkan timbulnya sikap saling memandang antara mereka. [Namun] kejadian seperti itu tidak menjadi masalah, sepanjang pandang-memandang di antara mereka tidak didasarkan pada syahwat serta keduanya sama-sama berniat dan melaksanakan menahan pandangan.”

Fokuskan pada Penampilan Non-Seksual ...

Kondisi yang membolehkan kita memandang lawan-jenis adalah ketika tidak terkagum-kagum pada pesona seksual dan tidak memandangi aurat. Selama berada dalam kondisi ini, kita tidak dituntut untuk memalingkan muka (seperti Fadhal) atau pun diperintahkan untuk tidak melanjutkan pandangan (seperti Ali). Bahkan, bisa saja kita justru diberi kesempatan luas untuk bisa memandang lawan jenis.

Belum percaya? Liat aja hadits shahih berikut ini, yang mengisyaratkan bolehnya memandang lawan-jenis seraya mengagumi keahliannya atau sekurang-kurangnya menyaksikan penampilan non-seksualnya.

Dari ‘Aisyah r.a. dikatakan: Ketika itu adalah hari raya, dan pada waktu itu orang Habsyah sedang bermain tameng dan tombak. Entah aku yang meminta atau Nabi sendiri yang berkata kepadaku: ‘Apakah kamu ingin melihatnya?’ Aku jawab: ‘Ya.’ Maka aku disuruhnya berdiri di belakangnya [sehingga aku melihatnya]. (HR Bukhari)

Tuuuh… Nabi memberi kesempatan luas kepada Aisyah nyaksiin keterampilan orang Habsyah bermain sejata. Ternyata, tidak seperti kemolekan, dayatarik non-seksual lawan-jenis boleh dilihat dengan cukup leluasa.

Sekarang, berdasarkan dalil di atas, bisa kita petik sebuah hikmah: Supaya tidak terkagum-kagum pada dayatarik seksualnya, fokuskan pengamatan kita pada penampilan non-seksualnya apabila kita memandang lawan-jenis.

Penampilan non-seksual lawan-jenis yang dapat kita saksikan itu meliputi: kegesitan berolah-raga, kelogisan berargumentasi, kesopanan berbusana, keanggunan bersikap, keramah-tamahan berperilaku, keindahan berekspresi artistik, kelihaian berkomunikasi, … dan masih banyak lagi yang lainnya.

Berpaling Bila Terpana oleh Kemolekan ....

Walau sudah berusaha fokuskan perhatian pada dayatarik non-seksual, bisa saja kita tiba2 terpesona pada kemolekan si lawan-jenis. Kalau terjadi begini, atau setiap kali terpikat pada dayatarik seksualnya, kita diminta segera alihkan pandangan. Dalil yang melandasi seruan “alihkan pandangan” ini adalah sebagai berikut:

Dari Jarir bin Abdullah r.a. dikatakan: “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang memandang [lawan-jenis] yang [membangkitkan syahwat] tanpa disengaja. Lalu beliau memerintahkan aku mengalihkan pandanganku.” (HR Muslim)

Makanya, kalau kau lelaki nyaksiin penampilan Siti Nurhaliza (atau penyanyi cantik lainnya), fokuskan pengamatan pada kehebatannya dalam bernyanyi dan bersopan-santun di pementasannya. Bila terpana pada kecantikan atau pun dayatarik seksualnya lainnya, lekas2lah alihkan pandangan ke arah lain. Jika gejolak birahi sudah reda, boleh nonton kembali. Tapi, andai terpesona lagi pada dayatarik seksualnya, segeralah alihkan lagi pandangan ke arah lain…

Selama tidak terpana pada ketampanan atau pun dayatarik seksualnya lainnya, perempuan juga boleh memandang wajah ustad Jefri Al-Buchori (atau mubalig pria lainnya) di majelis taklim. Fokuskan pengamatan pada kemampuannya dalam berdakwah. Setiap kali terpesona pada dayatarik seksualnya, cepat2lah alihkan pandangan ke arah lain…

Kau pun harus siap-sedia sering2 alihkan pandangan sewaktu bercakap-cakap ‘si dia’ seraya mengagumi pesona ‘kecantikan batiniah’ (inner beauty)-nya. Boleh2 aja sih kau menatap dia saat menyimak tutur-katanya, namun setiap kali terpikat pada dayatarik seksualnya, lekas2lah alihkan pandangan ke arah lain sampai gejolak birahimu reda.

Malu ketahuan alihkan pandangan? Nevermind. Ingat, gejolak birahi itu manusiawi, sedangkan mengalihkan pandangan itu islami. Ngapain malu berperilaku islami?

Bagaimana Menjaga Pintu Perzinaan ...

Kau nggak malu berperilaku islami, kan? Bagus… Trus, seperti Aisyah dalam hadits Bukhari tadi, apakah kau ingin menyaksikan keahlian si lawan-jenis? Boleeeh… asalkan, sekali lagi kami ingatkan, alihkan pandangan setiap kali terpikat pada dayatarik seksualnya. Begitulah jurus “tundukkan pandangan” yang bisa kita maklumi sebagai upaya menjaga ‘pintu perzinaan’ dari terjadinya ‘zina mata’. Jika kita membiarkan terjadinya ‘zina mata’ sewaktu memandang lawan-jenis, maka mungkin kita tergolong mendekati zina.

Dari Ibnu Abbas r.a. dikatakan: Tidak ada yang kuperhitungkan lebih menjelaskan tentang dosa-dosa kecil daripada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat [dengan syahwat], zinanya lidah adalah mengucapkan [dengan syahwat], zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan [pemenuhan nafsu syahwat]. …” (HR Bukhari & Muslim)

Rupanya, yang bisa kita anggap mendekati zina itu nggak cuman ‘zina mata’. ‘Zina lidah’ dan ‘zina hati’ pun dapat digolongkan mendekati zina.

Bahkan, di luar tiga macam ‘zina’ yang kami garisbawahi itu, masih ada ‘zina tangan’, ‘zina kaki’, dan ‘zina-zina bagian tubuh lainnya’ yang mungkin tergolong mendekati zina pula. Namun, penyebutan tiga saja —di antara itu semua— kami pandang sudah memadai untuk menggambarkan bagaimana menjaga ‘pintu perzinaan’.

Kalau untuk menjaga ‘pintu perzinaan’ dari terjadinya ‘zina mata’, kita gunakan jurus “tundukkan pandangan”, apa jurus kita untuk mengatasi ‘zina lidah’ dan ‘zina hati’ (atau pun ‘zina-zina bagian tubuh lainnya’)? Kau bisa nebak, kan?

Yup. Untuk menjaga ‘pintu perzinaan’ dari terjadinya ‘zina lidah’, kita gunakan jurus “tundukkan tutur-kata”. Maksudnya, ketika lawan-jenis yang menyimak tutur-katamu terpesona pada ke-sexy-an suaramu, keraskan suaramu atau hentikan sajalah tutur-katamu. “Janganlah kau terlalu lembut bicara supaya [lawan-jenis] yang lemah hatinya tidak bangkit nafsu [syahwat]-nya.” (QS al-Ahzab [33]: 32) “Katakanlah yang baik-baik atau diam sajalah.” (al-hadits)

Dalam pengamatan kami, banyak muda-mudi (terutama wanita) yang kurang menyadari ke-sexy-an suaranya di telinga lawan-jenis. Karena itu, kami sarankan, mintalah penilaian dari beberapa sahabat lain-jenis mengenai suaramu. Kalau nggak sedikit orang menilai suaramu sexy, ubahlah gaya bicaramu. Kalau sulit mengubah, berlatihlah secara serius sampai berhasil. Bagaimanapun, gaya bicara bisa diubah. (Kami saksikan, banyak aktris Hollywood mampu menampilkan aneka gaya bicara. Di satu film terdengar sexy banget, di film lain kurang sexy, sesuai karakter di film2 itu.)

Adapun untuk menjaga ‘pintu perzinaan’ dari terjadinya ‘zina hati’, kita gunakan jurus “tundukkan keinginan”. Maksudnya, ketika kau terpikat oleh dayatarik seksual lawan-jenis yang menarik perhatianmu, janganlah kau mengharap-harap kesenangan seksual dari dia. Selanjutnya, sebesar apa pun gairahmu, janganlah kau turuti keinginan nafsu syahwatmu ini. Kalau kau umbar nafsu ini, maka rusaklah kehormatan dirimu sendiri, sehingga kau “tergolong orang yang bodoh” (QS Yusuf [12]: 33).

Ketika kau kewalahan meredam nafsu syahwat, segera “alihkan perhatian” ke hal-hal lain yang bersifat non-seksual. Seandainya sinetron remaja Indonesia atau film musikal India di televisi sering membuat birahimu bergejolak, alihkan saluran ke tayangan lain. Umpamanya: sepakbola, berita politik, dialog bisnis, eksplorasi flora dan fauna, dan sebagainya. (Lebih baik lagi, matikan televisi lalu baca buku2 islami atau lakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat.)

Dengan mengerahkan jurus2 penjagaan ‘pintu perzinaan’ sedemikian itu, insya’ Allah ‘pintu perzinaan’ kita selalu terjaga. Dengan kata lain, kita tidak mendekati zina.

Dengan jurus2 tadi, ‘darah-muda’ kita senantiasa terkendali ketika kita saling bergaul dan bertatap-muka dengan lawan-jenis, secara akrab sekalipun. Apalagi bila terawasi oleh orang lain yang cenderung mencegah perzinaan kita.)

Emang sih, jurus2 tersebut tidak menjamin kita bebas dari godaan setan. Tapi, setiap kali pasukan iblis hendak masuk untuk menguasai diri kita, mereka bisa kita tendang jauh2 dengan jurus2 tadi.

Dengan demikian, menjauhlah bahaya kerusakan yang mengancam masuk melalui ‘pintu perzinaan’ yang bernama ‘perbauran’. Hasilnya, selamatlah kita di dunia dan akhirat. (Begitulah cara yang kami upayakan untuk memupus kekhawatiran Nabi terhadap perilaku kita dalam bertatap-muka dengan lawan-jenis.)

Sunday, February 5, 2012

Supaya Jangan Sembarangan Mengklaim Ahli Bid'ah Kepada Orang Lain (Hakekat Bid'ah Lengkap Dari a Sampai z, Mewaspadai Wahabi)

Pengertian Bid’ah

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.

Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ

“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.

“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)

Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.

“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.

Macam-Macam Bid’ah

Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).

Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah

Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):

1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.

Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.

3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.

4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.

Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.

Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.

6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)

“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)

Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)

“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)

Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.

7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:

هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.

“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).


Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:

1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)

“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.

Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:

صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.

“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)

2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.

Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.

Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!

4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!

5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.

6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.

7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.

8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:

1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:

A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.

B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.

C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.

2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.


Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah

1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)

Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .

Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.

Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)

Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.

Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.

2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.

Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.

Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.

Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.

3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.

Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.

Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!

4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.

Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:

فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.

“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.

As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:

قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.

“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.

Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.

5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.

Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.

Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!

Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)

“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)

Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.

6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.

Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:

التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم

“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.

Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.

Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.

Kesimpulan

Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.

Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.

Sunday, January 15, 2012

Berdoa dengan Cara Bersyukur

INI bukan soal salah atau benar. Tapi soal SIKAP HATI di hadapan Allah: antara orang yang ‘senang meminta’ dan ‘senang bersyukur’. Yang senang meminta, sedang menghadirkan ‘kesempitan hidup’ ke dalam jiwanya. Sedangkan yang senang bersyukur, sedang menghadirkan ‘kelapangan hidup’.

Apalagi, TERKABULNYA sebuah PERMINTAAN dalam doa itu ternyata banyak SYARATNYA. Yaitu: (1) hanya jika meminta kepada Allah, (2) hanya bagi yang memenuhi segala perintah-Nya, (3) hanya bagi yang beriman kepada-Nya, (4) Masih ditambah: mudah-mudahan sudah benar prosesnya. Yang demikian itu diceritakan dalam ayat berikut ini.

QS. Al Baqarah (2): 186
Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat. Aku MENGABULKAN permohonan orang yang berdoa APABILA ia memohon (hanya) kepada-Ku, maka HENDAKLAH mereka itu MEMENUHI (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka BERIMAN kepada-Ku, MUDAH-MUDAHAN mereka berada dalam (proses) yang benar.

BANDINGKAN dengan orang yang bersyukur. Allah tidak menuntut persyaratan apa pun. Bahkan langsung memberikan JAMINAN. Bahwa barangsiapa bersyukur, Allah PASTI akan menambah kenikmatan atas apa yang disyukurinya itu. Pokoknya, pandai bersyukur, pasti dapat nikmat..! Ga pakai minta, atau ‘nyuruh’, apalagi ‘mendikte’ segala … :(

QS. Ibrahim (14): 7
Dan ketika Tuhanmu menginfomasikan: "SUNGGUH jika kamu bersyukur, PASTI Kami TAMBAH (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (kufur), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Hmm.., jadi bersyukur itu sebenarnya adalah sebentuk DOA dengan kemustajaban yang sangat tinggi. Jauh lebih mustajab dibandingkan dengan cara meminta-minta. Meskipun, tentu saja, semua itu boleh-boleh aja. Lha wong yang mengabulkan doa itu bukan saya, tapi DIA… :)