Diriwayatkan bahwa Imam Syafi'i Radhiyallah 'Anhu berkata:
"Apabila sahih suatu hadits, (ternyata menyalahi pendapatku, maka (hadits sahih) itu adalah madzhabku." Di lain: "maka beramalah dengan hadits (tersebut) dan tinggalkan pendapatku."
Jangankan kita yang hidup di zaman ini, orang yang berguru langsung kepada Imam Syafi'i, dan hidup di zaman beliau saja ternyata ada yang keliru dalam mengaplikasikan pernyataan Imam Syafi'i di atas. Mengatakan: Inilah mazhab Syafi'i, sebab haditsnya sahih.
Sebagaimana yang terjadi pada Ibnu Abil Jaarud, beliau mengatakan, hadits tentang batalnya puasa orang yang melakukan hijamah (bekam) adalah sahih, maka saya (Ibnu Abil Jaarud) menyatakan: as-Syafi'i berpendapat bahwa puasanya orang yang melakukan hijamah batal (أفطر الحاجم والمحجوم).
Lalu ternyata pernyataan Ibnu Abil Jaruud tersebut dibantah oleh Fuqaha Syafi'iyah bahwa Imam Syafi'i sengaja tidak mengamalkan hadits tersebut, lantaran hadits tersebut mansukh menurut beliau, meskipun beliau mengetahui kesahihannya, dan kenyataannya pun Imam Syafi'i telah menjelaskan tentang nasakh-nya hadits tersebut.
Karenanya, Imam an-Nawawi menegaskan bahwa: pernyataan Imam Syafi'i tersebut (di atas) tidak bisa diartikan bahwa ketika seseorang mengetahui hadits sahih, dia boleh mengatakan inilah mazhab Imam Syafi'i, lalu ia beramal dengan zahir (tekstual) hadits tersebut.
Akan tetapi (lanjut Imam Nawawi), pernyataan Imam Syafi'i tersebut hanya berlaku untuk orang yang sudah berada di poisisi mujtahid mazhab. Dan disyaratkan, ia harus meyakini bahwa Imam Syafi'i belum membahas hadits tersebut, atau tidak tahu akan kesahihannya.
Hal ini (keyakinan bahwa imam Syafi'i tidak tahu tentang keshihahannya dst..) hanya diakui setelah ia menelaah semua kitab-kitab Imam Syafi'i, serta kitab-kitab murid beliau yang mengambil ilmu dari beliau.
Kenapa sampai disyaratkan sedemikian rupa?
Imam Nawawi melanjutkan:
Karena Imam Syafi'i sengaja tidak mengamal banyak hadits-hadits sahih secara tekstual, yang sudah beliau lihat dan ketahui kesahihannya; sebab adanya alasan tertentu, seperti adanya kecacatan, naskh (penghapusan hukum), pengkhususan, takwil dan lain sebagainya.
Lihat: An-Nawawi, Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Vol. 1 Hal. 64.
"Apabila sahih suatu hadits, (ternyata menyalahi pendapatku, maka (hadits sahih) itu adalah madzhabku." Di lain: "maka beramalah dengan hadits (tersebut) dan tinggalkan pendapatku."
Jangankan kita yang hidup di zaman ini, orang yang berguru langsung kepada Imam Syafi'i, dan hidup di zaman beliau saja ternyata ada yang keliru dalam mengaplikasikan pernyataan Imam Syafi'i di atas. Mengatakan: Inilah mazhab Syafi'i, sebab haditsnya sahih.
Sebagaimana yang terjadi pada Ibnu Abil Jaarud, beliau mengatakan, hadits tentang batalnya puasa orang yang melakukan hijamah (bekam) adalah sahih, maka saya (Ibnu Abil Jaarud) menyatakan: as-Syafi'i berpendapat bahwa puasanya orang yang melakukan hijamah batal (أفطر الحاجم والمحجوم).
Lalu ternyata pernyataan Ibnu Abil Jaruud tersebut dibantah oleh Fuqaha Syafi'iyah bahwa Imam Syafi'i sengaja tidak mengamalkan hadits tersebut, lantaran hadits tersebut mansukh menurut beliau, meskipun beliau mengetahui kesahihannya, dan kenyataannya pun Imam Syafi'i telah menjelaskan tentang nasakh-nya hadits tersebut.
Karenanya, Imam an-Nawawi menegaskan bahwa: pernyataan Imam Syafi'i tersebut (di atas) tidak bisa diartikan bahwa ketika seseorang mengetahui hadits sahih, dia boleh mengatakan inilah mazhab Imam Syafi'i, lalu ia beramal dengan zahir (tekstual) hadits tersebut.
Akan tetapi (lanjut Imam Nawawi), pernyataan Imam Syafi'i tersebut hanya berlaku untuk orang yang sudah berada di poisisi mujtahid mazhab. Dan disyaratkan, ia harus meyakini bahwa Imam Syafi'i belum membahas hadits tersebut, atau tidak tahu akan kesahihannya.
Hal ini (keyakinan bahwa imam Syafi'i tidak tahu tentang keshihahannya dst..) hanya diakui setelah ia menelaah semua kitab-kitab Imam Syafi'i, serta kitab-kitab murid beliau yang mengambil ilmu dari beliau.
Kenapa sampai disyaratkan sedemikian rupa?
Imam Nawawi melanjutkan:
Karena Imam Syafi'i sengaja tidak mengamal banyak hadits-hadits sahih secara tekstual, yang sudah beliau lihat dan ketahui kesahihannya; sebab adanya alasan tertentu, seperti adanya kecacatan, naskh (penghapusan hukum), pengkhususan, takwil dan lain sebagainya.
Lihat: An-Nawawi, Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Vol. 1 Hal. 64.